Guillain-Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit 'demyelinating' saraf
(Nolte 1999). Juga merupakan salah satu polineuropati, karena hingga sekarang
belum dapat dipastikan penyebabnya. Namun karena kebanyakan kasus terjadi
sesudah proses infeksi, diduga GBS terjadi karena sistem kekebalan tidak
berfungsi. Gejalanya adalah kelemahan otot (parese hingga plegia), biasanya
perlahan, mulai dari bawah ke atas. Jadi gejala awalnya biasanya tidak bisa
berjalan, atau gangguan berjalan. Sebaliknya penyembuhannya diawali dari bagian
atas tubuh ke bawah, sehingga bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan
(Fredericks et all 1996).
Meskipun orang yang terjangkit
penyakit ini bisa mengalami kelumpuhan total, prognosisnya bagus. Enam bulan
setelah terserang, 85% dari kasus yang dilaporkan sembuh. Secara keseluruhan
hanya 5% yang meninggal akibat GBS (Fredericks et all 1996). Oleh karenanya,
disamping perawatan pada tahap akut, tata laksana fisioterapi akan sangat
menentukan prognosis, apakah akan ada gejala sisa atau sembuh total.
Makalah ini akan membahas secara
singkat patologi Guillain-Barre Syndrome, dan secara mendetail akan membahas
problem dan penatalaksanaan fisioterapi, baik dalam tahap akut maupun kronis.
I. Guillain-Barre Syndrome
Pemeriksaan secara patologis pada saraf penderita penyakit Guillain-Barre Syndrome menunjukkan kalau terjadi proses penghancuran selaput myelin pada saraf tepi. Baik pada pangkalnya (akar saraf) ataupun pada bagian yang lebih ujung (distal). Pada umumnya yang terserang akar saraf tulang belakang bagian depan (anterior root nerves of spinal cord), tetapi tidak menutup kemungkinan akar saraf bagian belakang (posterior root nerves of spinal cord). Uniknya selaput myelin yang terserang dimulai dari saraf tepi paling bawah, terus naik ke saraf tepi yang lebih tinggi (Fredericks et all 1996, dan Nolte 1999).
Pemeriksaan secara patologis pada saraf penderita penyakit Guillain-Barre Syndrome menunjukkan kalau terjadi proses penghancuran selaput myelin pada saraf tepi. Baik pada pangkalnya (akar saraf) ataupun pada bagian yang lebih ujung (distal). Pada umumnya yang terserang akar saraf tulang belakang bagian depan (anterior root nerves of spinal cord), tetapi tidak menutup kemungkinan akar saraf bagian belakang (posterior root nerves of spinal cord). Uniknya selaput myelin yang terserang dimulai dari saraf tepi paling bawah, terus naik ke saraf tepi yang lebih tinggi (Fredericks et all 1996, dan Nolte 1999).
Fungsi selaput myelin adalah
mempercepat konduksi saraf. Oleh karenanya hancurnya selaput ini mengakibatkan
keterlambatan konduksi saraf, bahkan mungkin terhenti sama sekali (Nolte 1999).
Sehingga penderita GBS mengalami gangguan motor dan sensorik. Kelambatan
kecepatan konduksi otot bisa dilihat dari hasil pemeriksaan EMG. Disamping itu,
hancurnya selaput myelin mungkin juga menyerang cranial nerves (Pryor &
Webber 1998) termasuk diantaranya nervus vagus, yang merupakan bagian dari
sistem saraf otonomik. Oleh karena itu, bila saraf yang terserang cukup tinggi
tingkatnya, sistem saraf otonomik mungkin saja terganggu. Selain nervus vagus,
cranial nerves yang lain mungkin saja terserang, misalnnya saraf ke-XI.
Gangguan motorik yang pada GBS
diawali dengan kelemahan otot bagian bawah. Mula-mula yang dirasakan kelemahan
(parese), bila berlanjut menjadi lumpuh (plegia). Diawali dari gangguan
berjalan, seperti misalnya kaki 'terseret', hingga tidak bisa berdiri.
Perlahan-lahan kelemahan 'naik' otot lebih tinggi, seperti lutut dan paha,
sehingga penderita tidak bisa berdiri. Bila yang berlanjut kelemahan otot bisa
terjadi pada otot di sepajang tulang punggung, punggung dan dada. Terus hingga ke
tangan dan lengan. Bila otot-otot pernafasan terganggu, akan terjadi kelemahan
dalam bernafas. Penderita merasa nafasnya berat.
Kadang-kadang gejala GBS juga
disertai gangguan saraf otonomik, sehingga akan terjadi gangguan saraf simpatik
dan para simpatik. Yang tampak adalah gejala naik-turunnya tekanan darah secara
tiba-tiba, atau pasien berkeringat di tempat yang dingin (Pryor & Webber
1998). Bila terjadi gangguan cranial nerves akibatnya adalah tidak bisa
menelan, berbicara atau bernafas, atau kelemahan otot-otot muka. Uniknya
kelemahan otot biasanya simetris, artinya anggota badan yang kiri mengalami
kelemahan yang sama dengan anggota badan kanan.
Selain gangguan motorik, biasanya
juga disertai gangguan sensorik. Gangguannya bisa berupa rasa kesemutan, 'terbakar',
tebal, atau nyeri. Pola penyebaran gangguan sensorik biasanya tidak sama dengan
gangguan motorik. Gangguan sensorik bisa berpindah dari waktu ke waktu
(Fredericks et all 1996).
Sebagai akibat dari gangguan motorik
dan sistem saraf otonomik, terjadi gangguan kardiopulmonari. Berawal dari nafas
berat, oleh karena kelemahan otot pernafasan (baik otot intercostal maupun
diafragma), hingga gangguan ritmik oleh karena gangguan saraf otonomik.
Akibatnya fungsi paru menjadi terganggu. Paru tidak bisa mengembang secara
maksimal akibatnya kapasitas vital menurun, dan bisa menimbulkan atelektasis.
Bila kondisi ini berlanjut, bisa terjadi infeksi paru, pneumonia, yang akan
memperburuk kondisi. Ditambah kenyataannya pasien dalam kondisi seperti di atas
biasanya hanya terbaring, posisi yang hanya akan menurunkan fungsi paru (Pryor
& Webber 1998). Bila fungsi glotis terganggu, akibat terganggunya sistem
otonomik, penderita mungkin akan tersedak. Sehingga makanan masuk ke saluran
pernafasan, dan akan menambah infeksi paru.
Akibat terganggunya saraf otonomik,
irama jantung juga terganggu. Sehingga tekanan darah bisa naik-turun secara
mendadak, atau 'flushing', yaitu muka memerah secara mendadak.
Gejala-gejala tersebut akan terus
muncul dalam waktu maksimal 2 minggu. Sesudah itu akan berhenti, hingga proses
penyembuhan terjadi sekitar 2 sampai 4 minggu sesudah kelemahan berhenti.
II. Problem Fisioterapi
Berdasarkan penjabaran di atas dapatlah disebutkan ada 4 problem dasar dari sisi pandang fisioterapi, yaitu problem muskuloskeletal, kardiopulmonari, otonomik dan sensorik. Dalam bab ini akan dibahas secara mendetail masing-masing problem.
2.1. Muskuloskeletal
Gangguan muskuloskeletal yang menonjol adalah berkurangnya kekuatan otot. Seperti disebutkan di atas, kelemahan otot disebabkan oleh terhambatnya atau terhentinya konduksi saraf dari spinal cord ke neuromusculo junction, yang satuannya disebut motor unit. Satu motor unit adalah beberapa serat otot yang mendapatkan inervasi oleh satu motor neuron (Fredericks et all 1996). Saraf yang menginervasi motor neuron berasal dari akar saraf tulang belakang. Satu akar saraf bisa menginervasi ribuan motor neuron. Sebaliknya satu otot mungkin disarafi oleh beberapa motor neuron yang berasal dari beberapa akar saraf tulang belakang (Martini 1998). Jadi bila ada satu akar saraf mengalami gangguan, maka sebagian serabut otot tidak mendapatkan inervasi; sedangkan serabut otot yang mendapat innervasi dari akar saraf lain masih mendapatkan konduksi saraf.
II. Problem Fisioterapi
Berdasarkan penjabaran di atas dapatlah disebutkan ada 4 problem dasar dari sisi pandang fisioterapi, yaitu problem muskuloskeletal, kardiopulmonari, otonomik dan sensorik. Dalam bab ini akan dibahas secara mendetail masing-masing problem.
2.1. Muskuloskeletal
Gangguan muskuloskeletal yang menonjol adalah berkurangnya kekuatan otot. Seperti disebutkan di atas, kelemahan otot disebabkan oleh terhambatnya atau terhentinya konduksi saraf dari spinal cord ke neuromusculo junction, yang satuannya disebut motor unit. Satu motor unit adalah beberapa serat otot yang mendapatkan inervasi oleh satu motor neuron (Fredericks et all 1996). Saraf yang menginervasi motor neuron berasal dari akar saraf tulang belakang. Satu akar saraf bisa menginervasi ribuan motor neuron. Sebaliknya satu otot mungkin disarafi oleh beberapa motor neuron yang berasal dari beberapa akar saraf tulang belakang (Martini 1998). Jadi bila ada satu akar saraf mengalami gangguan, maka sebagian serabut otot tidak mendapatkan inervasi; sedangkan serabut otot yang mendapat innervasi dari akar saraf lain masih mendapatkan konduksi saraf.
Kelumpuhan (plegia) terjadi akibat
banyaknya motor unit, atau semua, dalam satu otot yang tidak terkonduksi,
sehingga otot tersebut tidak bisa dikontraksikan. Sedangkan kelemahan (parese)
terjadi akibat hanya sebagian motor unit dalam satu otot yang masih terkonduksi
saraf, sehingga masih mampu untuk mengkontraksikan otot tersebut. Oleh karena
hanya sebagian serabut otot yang terinervasi yang bekerja untuk menggerakkan
satu otot, penderita GBS lebih cepat lelah.
Selanjutnya bila otot tidak bisa
berkontraksi berarti bagian badan tersebut tidak bergerak. Bila hal ini terjadi
dalam kurun waktu lama, yang akan terjadi bukan hanya kekuatan otot yang
terganggu, tetapi juga akan terjadi pemendekan otot, dan keterbatasan luas
gerak sendi (LGS). Jadi akibat berkurangnya konduksi saraf, akan mengurangi
jumlah motor unit yang bekerja, bahkan mungkin tidak ada sama sekali, sehingga
kelemahan otot atau lumpuh sama sekali, dan akan terjadi pemendekan otot, dan
pada akhirnya keterbatasan LGS.
2.2. Kardiopulmonari
Hal yang sama juga terjadi bila proses kerusakan selaput myelin terjadi pada tingkat akar saraf thoracal, karena akan terjadi kelemahan otot-otot pernafasan, yakni otot intercostal. Bahkan bila menyerang tingkat cervical, diafragma mengalami gangguan juga (Martini 1998). Akibatnya bahkan semakin rumit. Oleh karena otot-otot intercostal, mungkin juga diafragma, berkurang kekuatannya, maka ekspansi dada berkurang.
Hal yang sama juga terjadi bila proses kerusakan selaput myelin terjadi pada tingkat akar saraf thoracal, karena akan terjadi kelemahan otot-otot pernafasan, yakni otot intercostal. Bahkan bila menyerang tingkat cervical, diafragma mengalami gangguan juga (Martini 1998). Akibatnya bahkan semakin rumit. Oleh karena otot-otot intercostal, mungkin juga diafragma, berkurang kekuatannya, maka ekspansi dada berkurang.
Hal ini berakibat berkurangnya
kapasitas vital paru, sehingga fungsi ventilasi juga menurun. Akibat kapasitas
vital menurun, kemampuan batuk pun menurun. Sehingga kemampuan untuk
membersihkan saluran pernafasan menjadi berkurang.
Keadaan ini diperburuk oleh
kenyataan bahwa penderita yang mengalami kelemahan otot paru hanya mampu
berbaring. Dalam posisi berbaring, kapasitas paru semakin berkurang karena
pengaruh gravitasi terhadap posisi paru. Akibat gravitasi juga, otot-otot
pernafasan yang sudah lemah tersebut, semakin berat melakukan ekspansi paru.
Berkurangnya daya ekspansi paru berakibat terjadinya atelektasis, sehingga
fungsi ventilasi paru berkurang (Pryor & Webber 1998).
Resiko infeksi paru tinggi bila
terjadi gangguan menelan, akibat terserangnya cranial nerves yang bersangkutan.
Karena gangguan menelan tersebut, makanan bisa masuk ke saluran pernafasan,
yang akan menjadi sumber penyebab infeksi paru. Terjadinya infeksi paru akan
meningkatkan kebutuhan ventilasi. Sebaliknya infeksi paru juga menurunkan
kemampuan pertukaran gas di paru. Sehingga perbedaan kebutuhan ventilasi dan
kemampuan ventilasi paru akan sangat besar, yang akan memperburuk kondisi
pasien.
2.3. Sistem Saraf Otonomik
Selain gangguan kardiopulmonari, bila kerusakan selaput myelin mencapai tulang belakang tingkat thoracal, maka akan terjadi juga gangguan saraf otonomik simpatik. Bila gangguan selaput myelin mencapai saraf vagus (salah satu cranial nerves) akan terjadi gangguan parasimpatik. Oleh karena saraf-saraf tepi otonomik berakar dari akar saraf yang keluar dari antara tulang belakang thoracal dan saraf vagus (Martini 1998). Gangguan yang biasanya tampak adalah naik turunnya tekanan darah, keringat yang berlebihan, ataupun postural hipotensi.
Selain gangguan kardiopulmonari, bila kerusakan selaput myelin mencapai tulang belakang tingkat thoracal, maka akan terjadi juga gangguan saraf otonomik simpatik. Bila gangguan selaput myelin mencapai saraf vagus (salah satu cranial nerves) akan terjadi gangguan parasimpatik. Oleh karena saraf-saraf tepi otonomik berakar dari akar saraf yang keluar dari antara tulang belakang thoracal dan saraf vagus (Martini 1998). Gangguan yang biasanya tampak adalah naik turunnya tekanan darah, keringat yang berlebihan, ataupun postural hipotensi.
Kecuali gangguan tekanan darah yang
naik turun secara tiba-tiba, dan menelan, gangguan-gangguan tersebut tidak akan
banyak mempengaruhi program fisioterapi. Tetapi dalam memberikan pengobatan
fisioterapi hendaknya selalu mengawasi tanda-tanda tersebut, terutama bila
hendak memberikan perubahan posisi yang berarti atau mobilisasi.
2.4. Sensasi
Gejala lain yang dirasakan penderita GBS adalah gangguan rasa (sensasi). Gangguan rasa yang dirasakan adalah kesemutan, tebal, rasa terbakar, ataupun nyeri (Fredericks et all 1996). Pola penyebarannya tidak teratur dan tidak simetris, bisa berubah setiap saat. Meskipun gangguan tersebut tidak berbahaya, tetapi gangguan rasa tersebut menimbulkan rasa tidak nyaman. Rasa nyeri kadangkala juga terjadi akibat sebuah sendi tidak digerakkan dalam waktu tertentu. Jadi kadangkala nyeri murni disebabkan oleh gangguan sensasi, tetapi kadangkala juga disebabkan oleh kombinnasi gangguann sensasi dan sendi yang sudah lama tidak digerakkan.
Gejala lain yang dirasakan penderita GBS adalah gangguan rasa (sensasi). Gangguan rasa yang dirasakan adalah kesemutan, tebal, rasa terbakar, ataupun nyeri (Fredericks et all 1996). Pola penyebarannya tidak teratur dan tidak simetris, bisa berubah setiap saat. Meskipun gangguan tersebut tidak berbahaya, tetapi gangguan rasa tersebut menimbulkan rasa tidak nyaman. Rasa nyeri kadangkala juga terjadi akibat sebuah sendi tidak digerakkan dalam waktu tertentu. Jadi kadangkala nyeri murni disebabkan oleh gangguan sensasi, tetapi kadangkala juga disebabkan oleh kombinnasi gangguann sensasi dan sendi yang sudah lama tidak digerakkan.
Selain gangguan rasa yang berakibat
tidak nyaman, gangguan sensasi juga bisa menyebabkan komplikasi. Misalnya
gangguan rasa tebal, disertai kelemahan otot, bisa menyebabkan dekubitus. Oleh
karenanya perlu dipikirkan untuk pencegahannya.
III. Penatalaksanaan Fisioterapi
Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai sejak awal, yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang unik, ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi. Yang pertama adalah fase ketika gejala masih terus berlanjut hingga berhenti sebelum kondisi pasien terlihat membaik. Pada fase tersebut yang diperlukan adalah mempertahankan kondisi pasien, meskipun kondisi pasien akan terus menurun.
Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai sejak awal, yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang unik, ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi. Yang pertama adalah fase ketika gejala masih terus berlanjut hingga berhenti sebelum kondisi pasien terlihat membaik. Pada fase tersebut yang diperlukan adalah mempertahankan kondisi pasien, meskipun kondisi pasien akan terus menurun.
Sedangkan yang kedua adalah pada
fase penyembuhan, ketika kondisi pasien membaik. Pada fase ini pengobatan
fisioterapi ditujukan pada penguatan dan pengoptimalan kondisi pasien. Pada
fase pertama penekanan pada semua problem menjadi sangat penting. Sedangkan
pada fase kedua hanya problem muskuloskeletal dan kardiopulmari yang menjadi
penekanan. Secara keseluruhan penatalaksanaan fisioterapi ditujukan pada
pengoptimalan kemampuan fungsional.
Meskipun ada 4 komponen problem dari
sudut fisioterapi, penatalaksanaannya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lain. Oleh karenanya sulit memisahkan satu masalah dengan masalah yang lain.
Penulis berusaha memisahkan penatalaksanaan fisioterapi berdasarkan tiap
problem, sesuai dengan penguraian problem di atas supaya lebih detail. Tetapi
pada prakteknya, pemberian fisioterapi tidak dapat dipisahkan satu dari yang
lain.
3.1. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Problem Muskuloskeletal
Seperti telah disebutkan di atas, masalah muskuloskeletal adalah penting baik pada fase pertama maupun kedua oleh karena bukan hanya motorik adalah masalah utama penderita GBS, tetapi juga skeletal sebagai akibat dari gangguan motorik. Pada fase pertama yang perlu diberikan adalah mempertahankan kekuatan otot, panjang otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa melupakan bahwa kondisi pasien masih akan terus memburuk dalam waktu maksimal 2 minggu.
3.1. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Problem Muskuloskeletal
Seperti telah disebutkan di atas, masalah muskuloskeletal adalah penting baik pada fase pertama maupun kedua oleh karena bukan hanya motorik adalah masalah utama penderita GBS, tetapi juga skeletal sebagai akibat dari gangguan motorik. Pada fase pertama yang perlu diberikan adalah mempertahankan kekuatan otot, panjang otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa melupakan bahwa kondisi pasien masih akan terus memburuk dalam waktu maksimal 2 minggu.
Bila panjang otot dan LGS terus
terjaga pada fase pertama, fisioterapi pada fase kedua ditekankan peningkatan
kekuatan otot, dengan tetap memperhitungkan jumlah motor unit yang kembali
bekerja.
3.1.1. Penatalaksanaan pada masalah kekuatan otot
Pada fase pertama, program awal yang bisa diberikan adalah latihan aktif, bila memungkinkan. Bila penderita tidak mampu menggerakkan sendiri anggota badannya, sebaiknya bantuan diberikan (=aktif asistif). Bila kemudian kondisi kelemahan otot sangat menonjol, latihan pasif harus diberikan; artinya fisioterapis yang menggerakkan angota badan penderita. Oleh karena dalam fase ini, kondisi penderita akan menurun, maka biasanya bantuan yang diberikan fisioterapis kepada pasien semakin banyak dari waktu ke waktu.
3.1.1. Penatalaksanaan pada masalah kekuatan otot
Pada fase pertama, program awal yang bisa diberikan adalah latihan aktif, bila memungkinkan. Bila penderita tidak mampu menggerakkan sendiri anggota badannya, sebaiknya bantuan diberikan (=aktif asistif). Bila kemudian kondisi kelemahan otot sangat menonjol, latihan pasif harus diberikan; artinya fisioterapis yang menggerakkan angota badan penderita. Oleh karena dalam fase ini, kondisi penderita akan menurun, maka biasanya bantuan yang diberikan fisioterapis kepada pasien semakin banyak dari waktu ke waktu.
Sebaiknya seorang fisioterapis
mempunyai sistematis dalam menggerakkan anggota tubuh pasien, sehingga tidak
ada bagian yang terlewati. Selain itu fisioterapis juga akan bisa sekaligus
mengamati perkembangan motorik pasien bila dilakukan secara sistematis.
Dianjurkan menggerakkan anggota tubuh dari bawah, sehingga akan diakhiri dengan
bagian tubuh yang terkuat. Secara psikis hal ini juga akan sangat membantu
motivasi pasien. Selain menggerakkan bagian tubuh secara sistematis, juga
sebaiknya arah gerakan tiap sendi dibuat secara sistematis, sehingga tidak ada
gerakan otot yang tertinggal.
Dalam menggerakkan anggota badan,
sebaiknya fisioterapis mengamati tingkat toleransi pasien terhadap latihan.
Jangan sampai pasien dibiarkan terlalu lelah atau memaksa menggerakkan anggota
tubuh, karena akan merusak motor unit. Berikan kesadaran kepada pasien bahwa
pada waktunya ototnya akan kembali bergerak, asalkan dilakukan gerakan secara
rutin. Bagi pasien GBS, frekuensi latihan seharusnya tidak terlalu tinggi dalam
satu sesi, untuk mencegah kelelahan, mengingat jumlah motor unit yang bekerja
hanya terbatas. Intensitas latihan dalam sehari bisa ditingkatkan dengan
melakukan lebih banyak sesi dalam sehari.
Penatalaksanaan pada fase kedua tidak
jauh berbeda dengan fase sebelumnya. Sasaran utama pada fase ini adalah
peningkatan kekuatan otot. Meskipun demikian latihan yang diberikan masih harus
tidak boleh terlalu berat, karena jumlah motor unit yang aktif terbatas.
Program latihan aktif seharusnya ditingkatkan bila penderita sudah mampu
melakukan latihan aktif dan memenuhi LGS normal tanpa kesulitan. Latihan
kemudian meningkat menjadi aktif resistif, artinya menggunakan beban unntuk
meningkatkan kekuatan otot.
Jenis latihan bisa bervariasi, bisa
menggunakan beban manual, artinya fisioterapis memberikan beban secara manual,
hingga latihan dengan alat, seperti misalnya quadricep bench. Dalam memberikan
program latihan, hendaknya selalu diingat bahwa tujuan akhir program
fisioterapi adalah memaksimalkan kemampuan fungsional. Jadi dalam meningkatkan
kekuatan otot, perlu diingat otot-otot mana saja yang diperlukan dalam
beraktivitas, atau mensiasati bila ada keterbatasan.
Untuk mengukur perubahan kondisi
pasien, bisa digunakan pengukuran kekuatan otot (MMT- manual muscles testing).
Tentu saja pada fase pertama kekuatan pasien tidak akan mengalami kenaikan,
sesuai dengan perjalanan penyakit. Tetapi pengukuran kekuatan terakhir pasien,
saat kekuatan biasanya berhenti sebelum kemudian membaik, bisa dijadikan titik
balik pengukuran pada tahap berikutnya. Sebaiknya pengukuran dilakukan secara
berkala, misalnya tiap minggu, atau tiap 3 hari. Dengan demikian fisioterapis
maupun penderita bisa melihat perkembangan yang terjadi, yang mungkin juga akan
menjadi motivasi keduanya.
3.1.2 Penatalaksanaan pada Luas Gerak Sendi (LGS)
Bersamaan dengan digerakkannya otot anggota tubuh penderita, bisa dikatakan semua sendi sudah digerakkan. Hanya perlu diingat bahwa pada fase pertama, otot penderita GBS biasanya tidak mampu menggerakkan LGS secara penuh. Oleh karenanya fisioterapis perlu membantu penderita untuk menggerakkan sendi sesuai dengan luas gerak sendi yang normal, minimal yang fungsional.
3.1.2 Penatalaksanaan pada Luas Gerak Sendi (LGS)
Bersamaan dengan digerakkannya otot anggota tubuh penderita, bisa dikatakan semua sendi sudah digerakkan. Hanya perlu diingat bahwa pada fase pertama, otot penderita GBS biasanya tidak mampu menggerakkan LGS secara penuh. Oleh karenanya fisioterapis perlu membantu penderita untuk menggerakkan sendi sesuai dengan luas gerak sendi yang normal, minimal yang fungsional.
Sama seperti memberikan latihan
untuk otot, menggerakkan sendi sebaiknya juga dilakukan secara sistematis
supaya tidak ada yang tertinggal. Sesudah gerakan aktif setiap sendi oleh
penderita, sebaiknya ditambahkan 2 sampai 3 kali gerakan sendi oleh
fisioterapis dalam LGS maksimal untuk mempertahankan LGS. Berbeda dengan program
untuk kekuatan otot, untuk mempertahankan sendi sama pada fase pertama dan
kedua.
Ukuran yang dipergunakan untuk
mengukur luas gerak sendi adalah pengukuran sudut setiap sendi. Alat yang
digunakan adalah goniometer. Pengukurannya dilakukan dengan satuan derajat.
Dalam satu institusi biasanya disepakati sistem apa yang digunakan, posisi
penderita dan posisi goniometer pada setiap sudut pengukuran. Seharusnya tidak
akan ada perubahan LGS dari waktu ke waktu, agar pada akhirnya penderita masih
mempunyai kemampuan fungsional yang maksimal.
3.1.3. Penatalaksanaan pada Panjang Otot
Pada saat melakukan latihan untuk mempertahankan LGS, sebagian besar otot juga terpelihara panjangnya. Kecuali beberapa otot yang panjangnya melewati dua sendi. Untuk otot-otot tersebut, perlu gerakan khusus untuk mempertahankan panjangnya. Otot-otot seperti quadricep, iliotibial band, sartorius adalah contoh otot yang melewati dua sendi. Otot-otot tersebut penting dalam kegiatan sehari-hari, misalnya duduk, bersila atau bersimpuh. Sehingga bila panjang ototnya tidak terpelihara, maka akan berpengaruh pada aktivitas penderita bila sembuh nanti.
3.1.3. Penatalaksanaan pada Panjang Otot
Pada saat melakukan latihan untuk mempertahankan LGS, sebagian besar otot juga terpelihara panjangnya. Kecuali beberapa otot yang panjangnya melewati dua sendi. Untuk otot-otot tersebut, perlu gerakan khusus untuk mempertahankan panjangnya. Otot-otot seperti quadricep, iliotibial band, sartorius adalah contoh otot yang melewati dua sendi. Otot-otot tersebut penting dalam kegiatan sehari-hari, misalnya duduk, bersila atau bersimpuh. Sehingga bila panjang ototnya tidak terpelihara, maka akan berpengaruh pada aktivitas penderita bila sembuh nanti.
Agak sulit membuat pengukuran
panjang otot, oleh karena panjang otot tiap individu akan berbeda tergantung
pada aktivitas dan keturunan. Karenanya untuk mengetahui panjang otot yang
normal, secara nalar, berarti fisioterapis harus tahu penderita sebelum
menderita GBS. Kenyataannya hal itu tidak mungkin terjadi. Sehingga salah satu
cara untuk mengetahui panjang otot adalah menanyakan aktivitas penderita,
apakah penderita biasa bersila, duduk sambil menumpangkan kaki atau bersimpuh.
Dengan demikian bisa diukur apakah
panjang otot yang bersangkutan cukup untuk kembali melakukan kembali
aktivitasnya. Cara lain yang bisa digunakan adalah membandingkan otot sebelah
kiri dan kanan, karena biasanya keduanya mempunyai panjang otot yang sama.
Pencatatannya baru dilakukan bila ada keterbatasan panjang otot.
3.2. Penatalaksanaan pada Problem Kardiopulmonari
Masalah kardiopulmonari lebih menonjol pada fase pertama. Pada kasus GBS yang berat, terjadi kelemahan otot-otot intercostal disebabkan karena berkurangnya jumlah motor unit yang terkonduksi. Akibatnya tidak dapat melakukan inspirasi secara penuh, sehingga kapasitas vital menjadi berkurang. Seperti yang telah disebutkan di atas, menurunnya kemampuan batuk, akan menurunkan kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan. Sehingga saluran pernafasan semakin menyempit, dan ekspansi paru menjadi berkurang juga. Sehingga pada akhirnya kembali terjadi penurunan kapasitas vital.
3.2.1. Penatalaksanaan pada Kemampuan Ekspansi Dada
Berbeda dengan masalah muskuloskeletal yang lain, latihan pasif tidak bisa dilakukan dengan mudah. Latihan pasif hanya bisa dilakukan dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan terpenuhinya volume sesuai dengan kapasitas vital, maka pertukaran gas dalam alveoli menjadi meningkat dan mampu memenuhi kebutuhan ventilasi. Selain itu juga memelihara kelenturan jaringan-jaringan lunak disekitarnya, sehingga LGS persendian disekitar tulang rusuk terpelihara.
3.2. Penatalaksanaan pada Problem Kardiopulmonari
Masalah kardiopulmonari lebih menonjol pada fase pertama. Pada kasus GBS yang berat, terjadi kelemahan otot-otot intercostal disebabkan karena berkurangnya jumlah motor unit yang terkonduksi. Akibatnya tidak dapat melakukan inspirasi secara penuh, sehingga kapasitas vital menjadi berkurang. Seperti yang telah disebutkan di atas, menurunnya kemampuan batuk, akan menurunkan kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan. Sehingga saluran pernafasan semakin menyempit, dan ekspansi paru menjadi berkurang juga. Sehingga pada akhirnya kembali terjadi penurunan kapasitas vital.
3.2.1. Penatalaksanaan pada Kemampuan Ekspansi Dada
Berbeda dengan masalah muskuloskeletal yang lain, latihan pasif tidak bisa dilakukan dengan mudah. Latihan pasif hanya bisa dilakukan dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan terpenuhinya volume sesuai dengan kapasitas vital, maka pertukaran gas dalam alveoli menjadi meningkat dan mampu memenuhi kebutuhan ventilasi. Selain itu juga memelihara kelenturan jaringan-jaringan lunak disekitarnya, sehingga LGS persendian disekitar tulang rusuk terpelihara.
Dengan demikian bila kekuatan otot
interkostal sudah kembali membaik, rongga dada sudah siap kembali
mengembang.Bila otot intercostal dan diafragma sudah menigkat, maka latihan
penguatan harus segera diberikan. Oleh karena tekanan positif yang diberikan
lewat ventilator dan manual hyperinflation bisa memberikan efek samping,
seperti barotrauma. Maka latihan aktif harus segera diberikan. Pemberian
latihan masih harus memperhatikan aturan rendah frekuensi dalam satu sesi dan banyak
sesi dalam sehari. Ini berarti harus diberikan kesempatan istirahat cukup bagi
penderita diantara sesi latihan, untuk menghindari kelelahan.
3.2.2. Penatalaksaaan pada
Pembersihan Saluran Pernafasan
Dalam keadaan normal, setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml sekresi saluran pernafasan dalam sehari. Pembersihan dilakukan sebagai bagian dari sistem pertahanan, yakni didorong oleh cilia yang kemudian tertelan. Bila sekresi yang dihasilkan lebih dari normal, atau ada kegagalan kerja cilia, maka diperlukan mekanisme batuk untuk mengeluarkannya dari saluran pernfasan. Agar bisa meletupkan batuk yang kuat, seseorang harus bisa menghirup cukup volume udara.
Dalam keadaan normal, setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml sekresi saluran pernafasan dalam sehari. Pembersihan dilakukan sebagai bagian dari sistem pertahanan, yakni didorong oleh cilia yang kemudian tertelan. Bila sekresi yang dihasilkan lebih dari normal, atau ada kegagalan kerja cilia, maka diperlukan mekanisme batuk untuk mengeluarkannya dari saluran pernfasan. Agar bisa meletupkan batuk yang kuat, seseorang harus bisa menghirup cukup volume udara.
Sehingga seorang penderita GBS
dengan kelemahan otot pernafasan yang menonjol tidak mampu melakukan batuk yang
kuat untuk mengeluarkan sekresi. Bila sekresi dibiarkan menumpuk, maka diameter
saluran pernafasan akan menyempit. Ini berarti volume udara yang bisa masuk ke
paru berkurang, sehingga kemampuan ventilasi menjadi berkurang.
Pada fase awal, pada penderita GBS
dengan kelemahan otot pernafasan yang menonjol, pembersihan saluran pernafasan
bisa dilakukan dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan
teknik tertentu, maka panjang ekspirasi bisa diperpendek, sehingga kecepatan
udara yang keluar pada waktu ekspirasi bisa meningkat. Dengan demikian sekresi
saluran pernafasan bisa dikeluarkan. Selain menggunakan bantuan ventilator dan
manual hyperinflation, bisa dilakukan postural drainage untuk membantu
memindahkan sekresi dari saluran pernafasan yang distal ke yang lebih
proksimal. Untuk membersihkan sekresi dari saluran pernafasan, penderita harus
mampu batuk, atau bila tidak harus dilakukan suction.
Selama melakukan postural drainage,
haruslah diwaspadai tanda-tanda gangguan otonomik, seperti kecepatan nafas
permenit, nadi permenit, atau saturasi penderita agar selalu dalam batas
normal. Jelaslah bahwa melatih batuk sejak dini sangatlah diperlukan untuk
meningkatkan kemampuan pembersihan saluran pernafasan. Hal ini biasanya bisa
terlaksana pada fase ke-dua, ketika otot-otot pernafasan mulai menguat. Atau
pada fase pertama bila kelemahan otot-otot pernafasan masih mampu menghasilkan
batuk, sehingga latihan batuk berguna untuk mempertahankan kekuatan otot.
3.2.3. Penatalaksanaan pada Gangguan Menelan
Jika terjadi juga gangguan menelan, maka resiko infeksi dada semakin tinggi. Oleh karena kemungkinan masuknya benda asing ke saluran pernafasan menjadi lebih besar. Benda tersebut kemudian akan menjadi sumber infeksi dada. Dalam hal ini ada dua masalah dalam sistem respiratori, yakni benda itu sediri, dan sekresi yang berlebihan akibat adanya benda asing yang masuk ke saluran pernafasan. Bila kemampuan pasien untuk batuk kuat, maka pasien mampu mengeluarkan benda asing dari saluran pernafasan dan membersihkan sekresi. Sayangnya, biasanya gangguan menelan disertai kelemahan otot pernafasan, sehingga penderita tidak mampu batuk.
3.2.3. Penatalaksanaan pada Gangguan Menelan
Jika terjadi juga gangguan menelan, maka resiko infeksi dada semakin tinggi. Oleh karena kemungkinan masuknya benda asing ke saluran pernafasan menjadi lebih besar. Benda tersebut kemudian akan menjadi sumber infeksi dada. Dalam hal ini ada dua masalah dalam sistem respiratori, yakni benda itu sediri, dan sekresi yang berlebihan akibat adanya benda asing yang masuk ke saluran pernafasan. Bila kemampuan pasien untuk batuk kuat, maka pasien mampu mengeluarkan benda asing dari saluran pernafasan dan membersihkan sekresi. Sayangnya, biasanya gangguan menelan disertai kelemahan otot pernafasan, sehingga penderita tidak mampu batuk.
Namun penderita dengan gangguan
menelan biasanya menerima makanan melalui slang yang langsung masuk ke lambung,
sehingga tidak perlu dikawatirkan akan masuk ke saluran pernafasan. Pada fase
pertama tidak banyak fisioterapi yang bisa dilakukan. Tetapi pada fase ke dua
program fisioterapi yang bisa diberikan adalah segera memberikan latihan batuk,
bila otot-otot pernafasan sudah bertambah kuat. Sehingga pada saatnya penderita
belajar menelan, resiko masuknya benda asing ke saluran pernafasan sudah
teratasi.
3.3. Penatalaksanaan pada Problem
Saraf Otonomik
Seperti disebutkan diatas, gangguan saraf otonomik akan timbul, bila kehancuran selaput myelin mencapai tingkat thoracal atau lebih tinggi, yakni cranial nerves. Pada umumnya gangguann saraf otonnomik tersebut adalah hal yang perlu dicermati dalam melakukan tindakann fisioterapi. Gangguan-gangguan tersebut antara lain labilnya tekanan darah, keluarnya keringat tidak sesuai keadaan, atau postural hipotensi. Gangguan-gangguan tersebut akan mejadi masalah, biasanya pada waktu mobilisasi. Pada waktu mobilisasi, misalnya dari berbaring ke duduk, tubuh memerlukan berbagai adaptasi, oleh karena terjadi perbedaan pengaruh terhadap tubuh.
Seperti disebutkan diatas, gangguan saraf otonomik akan timbul, bila kehancuran selaput myelin mencapai tingkat thoracal atau lebih tinggi, yakni cranial nerves. Pada umumnya gangguann saraf otonnomik tersebut adalah hal yang perlu dicermati dalam melakukan tindakann fisioterapi. Gangguan-gangguan tersebut antara lain labilnya tekanan darah, keluarnya keringat tidak sesuai keadaan, atau postural hipotensi. Gangguan-gangguan tersebut akan mejadi masalah, biasanya pada waktu mobilisasi. Pada waktu mobilisasi, misalnya dari berbaring ke duduk, tubuh memerlukan berbagai adaptasi, oleh karena terjadi perbedaan pengaruh terhadap tubuh.
Tanpa gangguan saraf otonomik pun,
seseorang yanng berbaring lama memerlukan waktu untuk beradaptasi terhadap
tekanan darah. Adaptasi tersebut teratasi oleh karena pusat pengaturan tekanan
darah mendapatkan input, kemudian tekanann darah meningkat atas pengaruh saraf
otonnom. Bila terjadi gangguan saraf otonnomik, maka adaptasi tersebut akan
terganggu.
Maka, dalam memberikan tindakan
fisioterapi harus selalu dicermati tekanan darah dari waktu ke waktu. Oleh
karena yang diukur adalah tekanan darah, maka yang dijadikan aturan adalah
tekanan darah. Bila memungkinkan digunakan spirometer elektronik yang terus
bisa dimonitor setiap saat. Disamping tekanan darah, bisa dicermati kemampuan
komunikasi penderita, atau warna muka sebagai indikator tekanan darah.
3.3. Penatalaksanaan pada Problem Sensasi
Problem sensasi pada penderita GBS yang muncul adalah rasa terbakar, kesemutan, rasa tebal atau nyeri. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa terbakar, atau kesemuta. Secara teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan pemberian TNS. Rasa nyeri bisa disebabkan murni oleh karena gangguan sensasi.
3.3. Penatalaksanaan pada Problem Sensasi
Problem sensasi pada penderita GBS yang muncul adalah rasa terbakar, kesemutan, rasa tebal atau nyeri. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa terbakar, atau kesemuta. Secara teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan pemberian TNS. Rasa nyeri bisa disebabkan murni oleh karena gangguan sensasi.
Tetapi nyeri pada punggung mungkin
juga disebabkan oleh kurangnya gerakan pada sendi-sendi tulang belakang. Bila
sesudah peregangan sendi-sendi tulang belakang beserta otot-otot disekitarnya,
rasa nyeri berkurang, maka rasa nyeri tersebut disebabkan oleh kurangnya
gerakan. Tetapi bila rasa nyeri tersebut tidak hilang, maka gangguan tersebut
disebabkan oleh gangguan sensasi. Seringkali rasa nyeri yang timbul karena
kombinasi
keduanya.
keduanya.
Jadi bila sesudah peregangan rasa
nyeri berkurang, tetapi tidak hilang sama sekali. Bila rasa nyeri disebabkan
oleh kuranngnya gerakan sendi, tindakan yang bisa dilakukan adalah peregangan
lebih lanjut, atau lebih spesifik bisa dilakukan manipulasi atau mobilisasi
pada tulang belakang tertentu. Selain ketidaknyamanan, rasa tebal juga bisa
menimbulkan komplikasi, yaitu dekubitus.
Rasa tebal menyebabkan penderita
tidak dapat merasakan tekanan kasur pada penonjolan-penonjolan tulang, sehingga
memungkinkan terjadi lecet dan akhirnya dekubitus. Oleh karenanya perubahan
posisi harus selalu dilakukan sebagai usaha pencegahan. Idealnya perubahan
posisi dilakukan setiap 2 jam, dan setiap penonjolan tulang harus selalu
mendapat perhatian.
CONTOH KASUS
Nn. Y, 17 tahun, datang ke RS A setelah dirawat 11 hari di RS lain. Dia datang dengan diagnosa GBS, dan gangguan fungsi kardiopulmonari yang menonjol, disamping fungsi motoriknya. Hasil foto rongent menjelaskan adanya atelektasis pada segmen lobus atas dan lobus tengah kanan. Fungsi motorik pada anggota atas memerlukan bantuan untuk bergerak, sedangkan anggota bawah plegi. Di RS A penderita dirawat di ruang ICU 14 hari dengan bantuan ventilator via lubang tracheostomy untuk bernafas, dan 3 hari lepas lepas ventilator dengan masker oksigen untuk memaksimalkan saturasi.
Nn. Y, 17 tahun, datang ke RS A setelah dirawat 11 hari di RS lain. Dia datang dengan diagnosa GBS, dan gangguan fungsi kardiopulmonari yang menonjol, disamping fungsi motoriknya. Hasil foto rongent menjelaskan adanya atelektasis pada segmen lobus atas dan lobus tengah kanan. Fungsi motorik pada anggota atas memerlukan bantuan untuk bergerak, sedangkan anggota bawah plegi. Di RS A penderita dirawat di ruang ICU 14 hari dengan bantuan ventilator via lubang tracheostomy untuk bernafas, dan 3 hari lepas lepas ventilator dengan masker oksigen untuk memaksimalkan saturasi.
Setelah itu Nn. Y dirawat di ruangan
selama 18 hari. Meskipun formal program fisioterapi dimulai minggu ke-2,
sebenarnya programnya telah dilaksanakan perawat, seperti posisioning, manual
hyperinflation, sehingga foto rongent yang dilakukan ulang 5 hari berikutnya
sudah menunjukkan tidak ada kelainan di paru. Dengan demikian program
fisioterapi yang dilakukan ditekankan pada problem muskuloskelettal, karena
dalam pemeriksaan tidak ditemukan gangguan sensasi.
Program fisioterapi dimulai dengan
dengan memberikan latihan aktif asistif pada anggota atas dan pasif pada
anggota bawah. Hari ke 11 fisioterapi, program ditingkatkan dengan mobilisasi
setengah duduk. Pada saat itu sudah ada peningkatan kekuatan otot-otot anggota
bawah (2 minus). Pada akhir minggu ke-3 pemberian fisioterapi, kekuatan
otot-otot tungkai sudah 3. Penderita sudah mampu duduk di toilet.
Awal minggu ke-4 fisioterapi
dilakukan digimnasium dengan bantuan alat-alat, seperti over head pulley dan
suspension, disamping juga dilakukan koreksi duduk. Hari berikutnya
ditingkatkan dengan restorator kemudian quadricep bench. Pada akhir minggu ke-4
fisioterapi penderita sudah berangsur-angsur belajar berdiri, berjalan di
paralel bar, berjalan dengan walker, dan berjalan dengan bantuan pegangan
tangan.
Penderita menjalani fisioterapi selama
4 minggu dan pulang dengan berjalan dengan bantuan pegangan tangan. Selama
fisioterapo diberikan, tracheostomy tetap terbuka, kanul dilepas hari terakhir
penderita di RS.IV.
Kesimpulan Guillain Barre Syndrome
(GBS) adalah salah satu penyakit demyelinating Yang menyerang susunan saraf
tepi, pada umumnya saraf motorik tetapi mungkin juga saraf sensorik dan
otonomik. Serangan GBS biasanya mengikuti infeksi saluran pencernaan, sehingga
diduga akibat dari gangguan sistem kekebalan tubuh. Keparahan gejala GBS
tergantung dari tingginya akar saraf yang terserang. Semakin tinggi yang
terserang, maka gejalanya semakin parah. Sebaliknya semakin rendah yang
terserang, maka gejalanya semakin ringan.
Berdasarkan gejala yang timbul,
dapatlah disimpulkan ada 4 problem utama dalam penatalaksanaan fisioterapi pada
kasus GBS, yakni problem muskuloskeletal, kardiopulmonari, sensori dan gangguan
sistem saraf otonomi.
Disamping itu, berdasarkan tahap
penyembuhan pasien dengan GBS, ada 2 tahap penatalaksanaan fisioterapi pada
GBS, yakni fisioterapi pada tahap awal dan lanjut. Pada tahap awal – ketika
waktu gejalanya memburuk hingga berhenti – fisioterapi ditujukan pada
pemeliharaan fungsi dan kondisi. Pada tahap ini problem kardiopulmonari dan
muskuloskeletal menjadi perhatian utama.
Fungsi ventilasi paru harus tetap
dijaga, sehingga fungsi tubuh juga dapat optimal. Selain itu luas gerak sendi,
panjang otot, dan kekuatan sendi harus tetap dipelihara, sehingga pada saatnya
ada peningkatan kondisi fungsi muskuloskeletal bisa segera difungsikan. Tidak
banyak yang bisa dilakukan untuk problem sensorik selain mencegah terjadinya
dekubitus.
Gangguan sistem saraf otonomi
biasanya belum menjadi problem bagi fisioterapis pada tahap ini, karena
biasanya belum dilakukan mobilisasi. Pada tahap ini kerjasama dengan perawatan
sangat diharapkan.Sedangkan pada tahap akhir – ketika kondisi pasien sudah
membaik – fisioterapi ditujukan pada peningkatan fungsi. Yang menjadi perhatian
utama adalah problem muskuloskeletal, yakni peningkatan kekuatan otot.
Dengan demikian diharapkan akan ada
peningkatan fungsi secara maksimal. Selain itu fungsi paru juga harus tetap
ditingkatkan untuk mendukung peningkatan aktivitas dan metabolisma. Bila ada
gangguan sensorik, harus juga dilakukan tindakan untuk meningkatkan fungsi
sensori.
Selama pemberian tindakan
fisioterapi, selalu diperhatikan toleransi pasien terhadap perubahan posisi.
Selain pasien yang sudah lama berbaring, gangguan sistem saraf otonomi akan
lebih menghambat program mobilisasi.Dengan tidak mengurangi pentingnya
pengobatan pada tahap lanjut, keberhasilan penanganan pada kasus Guillain Barre
Syndrome (GBS) secara menyeluruh sangat tergantung pada perawatan tahap awal.
Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa prognose penderita GBS adalah baik.
karenanya kerja sama yang baik
tim medik pada tahap ini akan menentukan hasil akhir kondisi pasien, termasuk
diantaranya penatalaksanaan fisioterapi pada tahap lanjut yang akan
mengembalikan penderita pada fungsi sosial seperti semula.
Tulisan
lainnya
- Bobath Approach for Adult With Neurological Conditions (13 02 2012)
- Fisioterapi pada Asma Bronchiale (1 01 2009)
- Fisioterapi pada Gangguan Fungsi Seksual (Disfungsi Ereksi) (28 12 2008)
- Chest Physiotherapy pada Kasus Cerebral Palsy (27 12 2008)
- Fisioterapi pada Sindroma Lorong Kapal (23 12 2008)
One
response to “Bobath Approach for Adult With Neurological Conditions”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar